Recent Posts

Kamis, 19 Februari 2015

Bloody February 14th : Tas, Sherlock Holmes, dan Detektif Dadakan

Bangka. . . Bangka . . . Bangka !
Tempatku sekarang tinggal. Yang bikin betah? Pantainya? Iya, salah satunya itu.
Pantai aja tanpa guide tentu useless deh. Untungnya di sini aku punya guide yang bisa nunjukin destinasi-destinasi kece di Bangka. Bilang apa? Alhamdulillah. . . .


Well, FYI aja, besok tanggal 19 Pebruari itu 3rd anniv-month Trio PKP di sini!! 

Trio PKP apa yak? Trio PKP dalam kamus yang belum masuk wikipedia, sebutan untuk aku sama kedua temenku yang senasib sepenanggungan dapat penempatan pkl di Pangkalpinang. 

Jadiiii... besok kita bertiga 3rd month-anniv lah ceritanya... hahaha.


Kembali ke Bangka dan pantai-pantainya. Jadi, aku baru genap tiga bulan di sini (besok). Dan apa ceritaku dan pantai di Bangka?  Setidaknya aku udah mlancong ke lebih dari delapan nama pantai di Bangka. Ya, tentu aja sama guide-guide yang baik hati di sini. 

Dan kalau mau ngomongin pantainyaaaa.... keceeeeee! Kalau aku sebut ya, pantai di Bali mah kalah atuh. Oke, bukan maksud rasis atau sara yak. Peace mamen!

Jadi, pantai di Bangka ini terkenal sama pantai dengan hamparan bebatuan nan cantik aduhai. Pernah lihat laskar pelangi, kan? Ya seperti itu lah pantai-pantainya, seperti yang ada di film. 

Kalau ke pantai, aku biasanya touring pake motor. Dari jarak deket sampai jauh, hajar pake motor lah. Pernah dua kali ke pantai yang nggak pake motor, pertama waktu nganter tamu kantor dari Jakarta ke Pantai Matras, yang kedua waktu acara family gathering kantor ke Pulau Putri. 

Semuanya berkesan bahagia karena memang pantainya nggak mengecewakan. Kecuali satu kejadian bloody-saturday on february 14th. Aku nggak nge-bloody sih, ya secara fisik. Cuma secara finansial nge-bloody.
 


Aku selama ini paling seneng kalau jalan-jalan ke pantai itu karena mur-mer cucok. Nggak bayar mahal, hiburan ada, sejuk, enak, adem, refreshing-nya dapet banget. Jadi, selama ini aku nempel ke pantai sana, ke pantai sini memang nggak pake dana banyak. Nggak banyak sama sekali malah. Palingan beli cemilan sama bayar parkir dua ribu doang.

Tapi nggak buat kemarin Sabtu. Ya karena sudah aku bilang tadi. Sabtu yang berdarah bagi ekonomiku. Bukan karena tiba-tiba tarif parkir naik jadi ratusan ribu. Tapi, karena dompetku hilang. Yang biasanya ke pantai gratis, sekarang mewah banget yah... dibayar ktp, dua kartu atm kosong, satu kartu atm isi gajiku, sama cash sisa uang makanku. Mimpi apa tuh ya yang ngambil dompetku.  

Sampai dompetku divonis hilang bener-bener... aku masih percaya nggak percaya. Kalau kamu udah kenal aku, kamu nggak mungkin bakal nge-ekspektasi-in  aku bakal jerit-jerit atau nangis di pojokan gara-gara dompet hilang. 

Saatnya jadi detektif!

Temen-temenku yang cowok-cowok udah mulai keliling sekitar TKP dan aku nggak bisa diam aja. "Kita ngelihat keliling juga, yok!" ajakku.

Akhirnya aku sama Ant*** boncengan naik motor muterin sekitaran TKP. Jadi, kami muterin pesisir pantai. Nggak berharap sih tiba-tiba ketemu sosok makhluk manusia lagi nenteng tasnya Ant***. Oiya, FYI, dompetku hilang di dalam tasnya Ant*** and otomatis tasnya hilang juga. Well, aku clinguk-clinguk ke arah rumput-rumput di bawah kalau-kalau ada seonggok tas buangan yang udah dijarah pencuri beruntung itu. 

Clingak...

...clinguk,

Nggak ada.

Aku balik ke TKP. Tas nya belum balik juga di tempat semula *ya iyalah, neng*

Aku akhirnya memutuskan untuk mengambil rute penyelidikan lebih jauh lagi. Nglewatin nelayan-nelayan sampai ke kampung warga. Banyak sih orang lewat, dan itu bikin aku bingung maksud aku muter keliling itu nyari apa. Tasnya? Kok aku nggak yakin orang yang nyuri tas bakal naruh tasnya di tempat yang bisa kelihatan orang yah. Trus kalau nyari orang yang neteng-neteng tasnya? Aku makin yakin itu nggak mungkin banget ada. Nah, orang yang wajahnya mencurigakan? Semuanya kelihatan mencurigakan. 

Dan endingnya, sama kayak adegan pertama. Aku balik ke TKP lagi.

Pas aku udah mau belok di tikungan terakhir ke arah pantai, aku berhenti sebentar buat cari sinyal untuk telpon call center bank-bank ku buat ngeblokir atm. Pas aku berhenti dipinggir jalan, dari spion aku lihat ada motor mau nglewatin aku. Ok, yang itu adegan biasa yah. Lupakan. Terus, pas si pengendara yang aku lihat tadi posisinya pas tepat di arah jam tiga dari koordinatku *halah*, maksudku si "dia" pas lewat di sampingku, ternyata dia bapak-bapak! Bapak-bapak bawa tas yang mirip punya Ant*** dicantelin di sepeda motornya bagian depan!


TAS! TAS! TASNYA KETEMU DIBAWA BAPAK-BAPAK ITU! Aku mau teriak gitu tapi karena aku kebanyakan keracunan tontonan Sherlock Holmes, jadi aku keep calm. Aku belum pernah lihat Holmes jerit-jerit alay waktu nemuin pelaku pembunuhan atau mafia musuh pemerintah Inggris, jadi... itu aku tiru.
Aku langsung starter-in motor, ngikutin dia-yang-membawa-tas-yang-diduga-tasnya-Ant***.

Adegan selanjutnya kalau menurutku udah hampir mirip kejar-kejaran antara FBI sama geng mafia kalau di film action barat. Bedanya, kalau mereka pake motor Harley sama mobil Land Rover, kami pake motor vario sama motor matic yamaha dengan merk yang nggak aku kenali. Dan tentunya tanpa pistol atau bahkan sniper di tangan kami.

Si dia-yang-membawa-tas-yang-diduga-tasnya-Ant***, terus aja ngebawa motornya dengan santai. Kalau aku bandingin gerak-geriknya sama film detektif yang biasa aku tonton sih aku ngesimpulin kalau si dia-yang-membawa-tas-yang-diduga-tasnya-Ant*** ini nggak tahu kalau lagi dibuntutin.

OK! Keep doing it, Ul! YA ALMOST GET IT!!! ALMOST!!! Gaaahh!!

Nggak tau kenapa waktu itu aku jadi menggebu-gebu semangat. Kalau aku bayangin diriku sendiri lagi dikartunin, dari balik bajuku keluar api-apinya. Hosh~!! Atau jangan-jangan emang waktu itu dibalik bajuku udah keluar apinya?? Gimana nggak, siang bolong nggak pake helm, karena helmku aku tinggal di TKP, vario-ku ngebelah jalan pesisir pantai. Dimana kalau pantai itu terkenalnya kalau lagi siang-siang emang panas banget. Sepanas jiwaku yang menggebu-gebu. Ngerasa bakal nangkep the man of the day! 


Aku ngikutin dia udah lebih dari 5 km perkiraanku waktu itu. Dan kalau aku simpulin, dia kayaknya pergi ke arah kota, soalnya jalan yang dilalui sama kayak jalan aku waktu berangkat ke pantai tadi pagi. Sejak beberapa meter aku ngikutin dia, aku nyuruh Ant*** buat ngabarin situasi ter-update, kalau kami berdua udah tahu pelakunya! Kekekeke~ kalau aku ingat tentang kenyataan kalau kami berdua bisa nemuin pelakunya, dalam hati aku malah cekikikan. Keren banget deh bisa langsung nemuin tersangka kayak gini. Mungkin habis pulang ini aku langsung buka praktek detektif swasta aja, pikirku agak alay.

Ngikutiiiiiin terus. Sampai kapan? Nggak tau. Ant** usul kalau kita harus nanyain langsung ke si dia-yang-membawa-tas-yang-diduga-tasnya-Ant***. Tapi kalau menurutku itu bukan ide bagus. Kami berdua cewek berusia belasan tahun, cantik, baik, sehat, tubuh ideal, bermasa depan cerah, sedang ditunggu jodoh yang entah lagi dimana... gimana kalau waktu kami berdua tanya baik-baik tiba-tiba si dia-yang-membawa-tas-yang-diduga-tasnya-Ant*** itu langsung ngamuk membabi buta nyruduk-nyruduk pake motornya???
 

Jadi, aku nyuruh Ant*** untuk menyimpan lagi idenya. Mungkin ide itu bisa direalisasikan lagi kalau aku udah dapet sabuk hitamku. Well, akhirnya aku minta Ant*** buat minta bala bantuan. Ant*** langsung ngasih kontak ke temen-temen yang masih tinggal di TKP. Dan meluncurlah mereka. Tim bantuan segera datang.

Jadi, aku masih ngebuntutin si dia-yang-membawa-tas-yang-diduga-tasnya-Ant*** sampai tim 'bravo' datang *nama dadakan buat tim  bantuan* *biar lebih greget*.

Tapi... ternyata tim bravo yang menjadi harapan kita satu-satunya nggak nyusul-nyusul kami berdua. Padahal kami berdua udah ngasih kontak-kontak misscall ke tim mereka. Jadilah kami memperpanjang misi kami berdua, terus ngebuntutin.

Berat juga jadi sok-detektif-dadakan gini. Kamu harus fokus antara sosok si pelaku, jarak kamu sama si pelaku nggak boleh kedeketan atau kejauhan, harus nginget jalan... mana tahu jalan yang kami lalui ini udah bukan jalan ke arah kota sesuai dugaan kami, tapi malah jalan buat ngegiring kami ke markas mafia-pencuri-tas-pengunjung-pantai.

Sampai akhirnya di persimpangan, si dia-yang-membawa-tas-yang-diduga-tasnya-Ant*** ngebelokin motornya ke kanan. Hmm.. nah nah! Seingetku sih ini bukan jalan yang kami berdua lalui waktu dari kota berangkat ke pantai tadi. Jadi, ada dua opsi... si dia-yang-membawa-tas-yang-diduga-tasnya-Ant*** ternyata udah terlalu lapar trus mampir ke warung bakso di daerah situ atau ternyata dia udah sadar kalau dia dibuntutin trus mau bener-bener ngegiring kami ke markas mafia-pencuri-tas-pengunjung-pantai!

Kami pun langsung kasih kontak lagi ke tim bravo yang parahnya nggak nyampek-nyampek nyusul kami. Takut terlalu jauh ngikutin di jalan yang kami berdua nggak tau tempatnya, jadi kami berdua mulai mikir untuk bertindak sendiri, tanpa nunggu tim bravo. Ok, opsinya...

Kami nyusul si dia-yang-membawa-tas-yang-diduga-tasnya-Ant***,
trus tanya, "Pak, permisi. Yang Bapak bawa di motor Bapak itu tas kami yang Bapak curi ya?"
Kalau begini, timbul lagi dua opsi hasilnya.
Bisa jadi si dia-yang-membawa-tas-yang-diduga-tasnya-Ant*** ngeberhentiin motornya trus bilang, "Oh, iya, Mbak. Kok tahu?"
"Boleh saya minta, Pak?"
"Boleh, nih"
Atau bisa jadi si dia-yang-membawa-tas-yang-diduga-tasnya-Ant*** langsung nendang motor kami, bikin motor kami guling-guling di jalan trus dia malah ngebut.

Atau opsi kedua tindakan kami, minta tolong orang sekitar yang kira-kira tubuhnya sering dibawa nge-gym buat bantu kami berdua mintain tas.

Setelah ditimbang-timbang, akhirnya kami memilih opsi ketiga! Kami mutusin buat ngedahuluin motor si dia-yang-membawa-tas-yang-diduga-tasnya-Ant***. Habis itu? Nggak tahu.

Pas ketemu putusan final kami, si dia-yang-membawa-tas-yang-diduga-tasnya-Ant*** malah tiba-tiba nurunin kecepatannya dan ancang-ancang untuk minggir ke tepi jalan. Wedeeee.... kesempatan, mungkin kami bisa langsung ngrebut tas yang ditaruh di motor itu.

Kami hampir nyusul motor si dia-yang-membawa-tas-yang-diduga-tasnya-Ant***.

Tasnya...

... hampir kelihatan.

Tas ransel warna hijau... mirip milik Ant*** dari samping.

Mirip. Iya, mirip.

Mirip? Gimana kalau itu bukan tas Ant***?

Kami hampir hampir sampai ngelewatin motor si dia-yang-membawa-tas-yang-diduga-tasnya-Ant***.

Tapi... kami jadi mulai cemas. Antara pingin ngelihat tas itu... tapi takut kenyataan kalau tas itu bukan tas yang kami cari. Gimana kalau bukan? Gimana kalau kami ternyata ngikutin orang yang salah?? Gimana kalau tas itu hanya halusinasi si tas yang hilang??? Dan sekelumit gimana dan gimana lainnya berkecamuk di otak.

Terlambat. Kami udah disamping motor si dia-yang-membawa-tas-yang-diduga-tasnya-Ant*** dan kami bisa dengan jelas lihat tas yang dibawanya.

Tas itu...


bukan tas Ant***

 



Tiba-tiba langit mendung, petir menyambar-nyambar. Ternyata aku berimajinasi berlebihan. Euforia menjadi sok-detektif tadi itu ternyata cuma ilusi cita-cita ku yang tak tersampaikan. Antara aku harus nonton Sherlock Holmes lebih sering lagi supaya nggak salah waktu jadi detektif dadakan, atau aku harus stop nonton Sherlock Holmes karena udah bikin aku jadi orang paling imajinatif di dunia. 


Detik itu, tim bravo baru datang  

Rabu, 18 Februari 2015

MARI BERGABUNG DI STMKG !


MARI BERGABUNG DI STMKG 
(SEKOLAH TINGGI METEOROLOGI, KLIMATOLOGI, DAN GEOFISIKA)


Senin, 02 Februari 2015

Gigi "Degan" yang Malang

Sakit gigi lebih sakit daripada sakit hati. 

Ya, menurutku sih paling pas emang kayak gitu statement-nya. Karena sakit sakit gigi berasa lebih real sakitnya, atau... karena aku belum pernah ngerasain sakit hati ya? Hehe...

Yang paling terakhir kali adalah waktu aku cek gigi untuk persayaratan masuk STMKG. Waktu itu gigiku divonis nggak rapi (untuk yang ini aku udah akui sejak dulu) dan ada karang giginya. Sooo... tindakan dokter adalah mau ngebersihin karang gigiku. Oke, cuma ngebersihin sih nggak sakit mungkin ya. Keesokan harinya, aku balik ke dokter dengan perasaan nggak sabar buat dibersihin karang gigiku. 

"Permisi, Dok"

"Oh iya, masuk.. Duduk sini, Dek" Dokter nyuruh aku duduk di kursi pasien.

Di meja kecil yang ada di samping kursi pasien yang aku dudukin, aku ngelihat ada bor kecil. "Dok, lagi renovasi apa? Kok pake nge-bor segala, hehehe". Tanyaku buat ngakrabin diri.

"Bor? Loh, itu kan bor alat buat ngebersihin karang. Nanti kamu bakal ngerasain." Sepintas aku lihat ekspresi si Dokter berubah jadi kayak ibu tiri di sinetron Bidadari.

What???? Gigi di bor??? Euuuyyyyyyy. . .

Aku jadi ragu arti kata "membersihkan" karang gigi ini. Mendadak pucat-mual-pasrah.

Tiba-tiba, mulutku udah ngebuka dan bor maut tadi udah dipegang si Dokter, ancang-ancang mau masuk ke mulutku.

Kenapa si Dokter ini nggak nanyain pesan-pesan terakhirku biar bisa dia sampaikan ke ortuku dulu??

Eeuuyyyyy~ akhirnya ujung-ujung bor bergesekan dengan gigi-gigiku. Oke, sebenarnya nggak sakit. Karena memang benar apa yang dikatakn guru biologiku, kalau gigi nggak punya syaraf. Tapi ngeri-nya itu loooooo... sugesti buat berasa sakit!

Dan terus... gesekan-gesekan bor yang berputar kena gigi-gigi bagian perbatasan dengan gusi terasa. Bikin ada darah-darah keluar. Terasa... terasa... sampai keluar ruangan dokter, masih terasa.


Kalau mau flashback lagi, pengalamanku dengan dokter gigi selalu kurang menyenangkan. Ok, aku emang nggak sering ke dokter gigi. Aku bakal dengan berat hati ke dokter gigi kalau gigiku benar-benar  banget-banget ada masalah. Inget banget, pengalaman pertama sama dokter gigi adalah saat aku kelas TK nol kecil. Ok, masih terkenang sampai sekarang kan, benar-benar nggak bisa dilupakan pahitnya

Waktu itu sih masalahnya masih sepele, gigiku bagian depan yang bawah udah mau copot, bahasa Spanyolnya oglak. Tapi si gigi nggak mau lepas-lepas padahal udah goyang-goyang. Akhirnya aku dianter sama ortu ke dokter gigi terdekat siang bolong habis pulang sekolah. Dan di kursi khas ruangan dokter gigi itulah eksekusi pertama aku rasain. Sadis. Seingetku aku nggak nangis. Ya kalau nangis, wajarlah anak kecil, hehe.

Sebenarnya aku masih penasaran juga sih alasan ortu ngantar aku ke dokter gigi buat nyopotin gigiku waktu itu. Padahal sebelumnya gigiku juga copot, copot sendiri nggak perlu dicabut sama dokter. So, antara ortu takut aku nggak bakal bisa makan karena si gigi depan yang mau copot lumayan mengganggu buat ngunyah, atau ortu takut kejadian "gigi degan" terulang lagi. Aku nggak typo ya. Memang gigi de"g"an, bukan gigi de"p"an. Gigi degan yang konyol.

Masih di TK nol kecil. Tapi yang ini nol-nya lebih kecil dari sebelumnya soalnya kejadiannya sebelum pengalaman pertamaku ke dokter gigi. Waktu itu gigi atas depanku oglak (baca: udah goyang-goyang mau copot). Tapi waktu itu aku fine-fine aja soalnya walaupun udah goyang-goyang, si gigi goyang tadi nggak sakit atau nyeri. Jadi, maksudku memang "biarkan gigi goyang ini copot dengan sendirinya". 

Jadilah, waktu-waktu kulalui bersama si gigi goyang yang malang. Aku ajak masak-masakan ke rumah tetangga, ke pasar sama mama, main kelereng di rumah mbah, nonton naruto nyari sasuke buat dibawa balik ke konoha di tv, sederet parade makan... dan si gigi goyang masih pewe nggantung di gusi atasku. Mungkin si gigi goyang sedang menikmati masa-masa terakhirnya sebelum pergi selama-lamanya meninggalkan dunia per-gigi-an.

Udah aku sebutin di atas ya, jadi si gigi goyang ini kalau dibuat makan masih nyaman-nyaman aja. Hingga suatu ketika . . .

Waktu itu aku sedang menuntut ilmu di TK nol kecil. Jam istirahat, jajan itu wajib buat anak TK gaul pada waktu itu! Aku sama temen deketku, namanya Sara*, beli es degan bareng di depan TK. Jadi, karena skalanya "TK", komposisi degan sama air degannya 1:100. Jadi, dari seratus kali kamu nyedot lewat sedotan, kamu bisa dapat degan dari sekali sedot aja, dari seratus sedotan kamu tadi! Itupun kalau degannya nggak nyangkut di sedotan. Intinyaaaaa... degannya dikit banget deh!

Sedot... sedot... sedot... kunyah... sedot... kunyah... sedot... sedot... kunyah..
 
Dan... habis, bersisa plastik kosong dan sedotannya. Aku ngerasa, dikunyahan degan terakhirku, degannya agak gede-an dan keras tadi. 
 
"Sar, punyaku udah habis, nih."
 
"Mau lagi nih punyaku?"
 
Karena degan terakhir tadi berasa seret di tenggorokan, jadi tawaran Sara* aku iya-kan. 
 
"Makasih, Sar. Degan yang terakhir tadi agak seret. Kok keras ya, agak bulet juga, kayak. . . "
 
Jeng . . . jeng . . !!
 
Aku langsung inget si gigi goyang! Bagaimana keadaanya?? Aku harap apa yang aku bayangin cuma fantasi belaka. 
 
Kuraba pake lidah keberadaan si gigi goyang, dan ajaibnya... 
 
...si gigi goyang lenyap!
 
 
Walaupun waktu itu aku masih TK, dan belum dapet pelajaran tentang "sifat benda cair" atau "proses pencernaan makanan oleh manusia"... aku nggak lumayan pucat juga setelah tahu gigi goyangku lenyap setelah aku minum degan tadi.
 
Dan nggak perlu pake Sherlock Holmes, gigi goyangku lenyap dan hubungannya sama habis nelen "degan" yang keras dan agak bulet adalah... aku nelen gigiku sendiri!


"Lia.. kamu kenapa kok bengong?" Sara* ngebawa balik nyawaku ke realita yang pahit.

"Aku nelen gigiku deh, Sar"

"Ooo... yaudah. Yuk sampahnya dibuang ke tempat sampah, jangan dibuang sembarangan"

"Ooo iya, yuk."
 

Kami membuang sampah bersama.